Kamis, 01 Juli 2010

Masjid Al Azom Tangerang









Hari rabu tanggal 30 juni 2010 berkesempatan mengunjungi masjid AL AZOM di Tangerang, Sebenarnya sih bukan kali pertama mengunjungi masjid ini. Dengan mengandalkan kamera 2 mega pixel Handphone terciptalah gambar-gambar seperti yang anda lihat ini. Masjid yang letaknya berada di depan Pusat Pemerintahan kota Tangerang. Mungkin hal ini jarang disadari oleh masyarakat Indonesia sendiri, jikalau ternyata kubah mesjid terbesar didunia itu ada di Indonesia, yaitu Masjid Raya Al-Azom Kota Tangerang, Propinsi Banten. Masjid Raya Al-Azhom ini dibangun di atas lahan seluas 2,25 Ha dengan luas bangunan 5.775m2 terdiri dari lantai bawah 4.845,08m2 dan lantai atas 909,92m2, dengan kapasitas dapat menampung jamaah sebanyak 15.000 orang. yang menarik dari mesjid ini adalah dibangun dengan 4 kubah setengah lingkaran yang merupakan Kubah Penyangga dan 1 kubah Utama bagian atas, sehingga dengan adanya kombinasi arsitektur seperti itu tidak diperlukan tiang untuk menyangga Kubah, sehingga kesan didalam ruangan mesjid sangat luas, lapang dan sangat nyaman serta sejuk. Bagi rekan-rekan yang berkunjung ke kota Tangerang silakan berkunjung ke Masjid yang menjadi kebanggan masyarakat tangerang ini. Untuk parkir kendaraan disediakan halaman parkir yang cukup luas. Bahkan jika Bulan Romadon datang ada pembagian menu berbuka yang di bagikan secara cuma-cuma sebelum waktu berbuka, Saya pun pernah merasakan berbuka di masjid ini.

Sabtu, 26 Juni 2010

Mengunjungi Masjid Kali Pasir







Sudah lama ingin berkunjung ke Masjid Kali Pasir Tangerang. Masjid yang tertua di tangerang. Kesempatan datang setelah pulang kerja habis shift malem. Ya walaupun agak ngantuk-ngantuk sedikit ya jalan aja. Sambil mengendarai si tarik jabrik Suzuki A 100, perjalanan pun di mulai menuju Masjid Kali Pasir.
Ternyata letak Masjid tidak begitu jauh dari kantor hanya kira-kira 2 km. Hanya jalannya memutar karena jalan Kisamaun adalah satu arah.Akhirnya saya ambil kiri masuk ke jalan Kali Pasir Indah.
Sebenarnya Masjid ini berada di Pinggir Sungai Cisadane, dan sering saya lewati setelah pulang kuliah dari STT YUPPENTEK, tapi kenapa baru sekarang tahu kalo masjid ini berejarah dan umurnya lumayan tua. Saya masuk gang yang berada tepat di belakang masjid yang bersebelahan dengan makam yang berada di dalam kompleks Masjid Kali Pasir.
Masjid Kalipasir didirikan pada tahun 1700 oleh Tumenggung Pamit Wijaya yang berasal dari Kahuripan Bogor. Pada tahun 1712 kepengurusan masjid dilanjutkan oleh puteranya yang bernama Raden Bagus Uning Wiradilaga. Tahun 1740 dilanjutkan oleh keturunan berikutnya, yakni Tumenggung Aria Ramdhon.

Kepengurusan masjid berikutnya tetap dipegang secara turun temurun. Tahun 1780, Sutadilaga menjadi pengurus baru, yang dilantik pada tanggal 16 Februari 1802. Di masa Sutadilaga inilah mulai adanya prosesi pelantikan kepengurusan secara resmi. Berturut-turut kemudian pada tanggal 14 Februari 1827 Iddar Dilaga dilantik sebagai pengurus yang dilanjutkan kemudian oleh puterinya yang bernama Nyi Raden Jamrud pada tahun 1865.

Untuk melengkapi bangunan masjid, pada tahun 1904 didirikan sebuah menara di sebelah utara bangunan utama oleh Raden Yaasin Yudhanegara.

Pada tahun 1918, Raden Yaasin dan beberapa pengurus masjid lainnya, yakni Haji Abdul Kadir Banjar dan Haji Muhidi merenovasi tampilan menara lama. Renovasi berikutnya yang diketuai oleh H. Moh. Toha bin H. Muhidi dengan anggota Hasbullah Kadir, Nyi Guru Murhafiah, H.M. Badri, Raden Abdul Syukur Yaasin menyepakati untuk merenovasi kembali tampilan menara. Pengerjaan renovasi mulai dilaksanakan pada tanggal 24 April 1959 dan rampung pada bulan Agustus 1961. Atap menara yang diganti sampai sekarang masih tersimpan di rumah H. Ankagiri Yaasin yang merupakan keturunan ke-3 dari Nyi Raden Jamrud. Tahun 2000 menara masjid direnovasi kembali, diketuai oleh H. Syahrozi ketua DKM Kalipasir.

Pondasi Masjid Kalipasir sekilas tidak tampak tinggi. Tetapi apabila dilihat dari sebelah timur masjid ada tiga buah terap anak tangga dengan tinggi sekitar 30 cm. Ruang utama shalat berbentuk empat persegi dilapisi keramik berwarna putih. Di dalam ruang utama ini terdapat empat buah tiang utama (soko guru) yang menopang atap utama dengan empat buah umpak berbentuk segi enam. Tiang-tiang ini sekarang dipagari masingmasing dengan 3 buah besi berbentuk silinder berwarna kuning yang dimaksudkan untuk melindungi tiang kayu yang sudah mulai rusak.

Di sisi utara, selatan, dan timur terdapat ruangan semacam serambi. Serambi selatan dan timur tertutup. Antara ruang utama dengan serambi ini dibatasi oleh pintu berbentuk lengkungan yang masing-masing pintu diapit oleh tiang. Antara ruang utama dengan serambi utara dibatasi oleh dinding tinggi dengan sebuah pintu masuk dan dua buah jendela, sementara antara jalan lingkungan dan serambi utara diberi pagar tembok dengan pintu tanpa daun pintu dan jendela berbentuk lengkung tanpa daun jendela.

Pada dinding timur terdapat sebuah jendela dengan lubang angin pada bagian atasnya dan sebuah pintu berbentuk persegi empat dengan dua buah daun pintu. Di atas pintu terdapat hiasan berupa pelipit. Pada dinding sisi barat terdapat mihrab yang di kiri dan kanannya diapit oleh dua pilaster (tiang semu), dan empat buah jendela berbentuk lengkung. Pada dinding selatan yang membatasi jalan lingkungan dengan serambi selatan terdapat sebuah pintu dengan lubang angin di atasnya. Dinding ini mempunyai lima buah jendela berukuran kecil. Dinding barat tidak mempunyai pintu. Dinding ini memiliki dua buah jendela berukuran sama. Mihrab terdapat pada dinding ini diapit oleh dua pilar semu. Dinding utara memisahkan ruang utama dengan serambi utara. Terdapat sebuah pintu dan sebuah jendela. Untuk kegiatan sehari-hari, pintu disebelah utara ini yang lebih sering digunakan karena letak tempat wudhu dan menara masjid berada di sebelah barat daya masjid ini. Atap Masjid Kalipasir memiliki atap utama berbentuk piramid, dan atap bagian terluarnya seperti atap rumah pada umumnya.

Masjid Kalipasir terletak di Kampung Kalipasir RT 02/RW 04 No. 18, Kelurahan Sukasari Kota Tangerang, Provinsi Banten. Di sebelah Barat Masjid terdapat Komplek Pemakaman Kalipasir yang berpagar kawat. Sejak berdirinya masjid ini memang di desain memiliki tanah pemakaman di sebelah baratnya. Di seberang makam mengalir Sungai Cisadane yang melintasi kawasan Tangerang dan sekitarnya. Sisi utara, selatan dan timur masjid berbatasan dengan pemukiman penduduk karena memang Masjid Kalipasir ini berlokasi di tengah-tengah perkampungan penduduk yang cukup padat.

Berkunjung ke Masjid Pintu 1000 Tangerang




Wah pulang kerja jam 4 sore, bingung mo kemana nih....pulang kerumah entar kuliah ada jam ke dua.Tapi jam kedua masih lama.mmmmmmh enaknya mengunjungi masjid pintu 1000 nih.
Terletak di RT 01/03, Kampung Bayur, Priuk, Kota Tangerang. Pendiri masjid adalah seorang penyebar Islam kelahiran Arab bernama Alfakir Syekh Mahdi Hasan Alqudrotillah Almuqoddam. Salah satu keunikan masjid ini adalah ruangannya yang disekat-sekat hingga membentuk ruangan seperti mushola. Setiap ruangan (mushola) diberi nama. Ada mushola Fathulqorib, Tanbihul-Alqofilin, Durojatun Annasikin, Safinatu-Jannah, Fatimah hingga mushola Ratu Ayu. Masing-masing luas area mushola sekitar 4 meter.
Selain mushola, keunikan lain adalah tasbih berukuran raksasa terpajang di dalam ruangan. Memiliki 99 butir berdiameter 10 centimeter. Setiap butir bertuliskan nama Asma’ul-Husna. Konon, tasbih itu merupakan terbesar di Indonesia. Awalnya, masjid ini kurang begitu populer karena digerus zaman. Akan tetapi, setelah mulai dipublikasikan media, masjid itu kemudian banyak dikunjungi masyarakat dari berbagai penjuru, bukan saja nasional tapi masyarakat internasional.
Supandi S, seorang pengurus masjid bagian publikasi menuturkan, hingga sekarang belum diketahui makna yang terkandung di balik arsitektur masjid yang memiliki seribu pintu itu. Tak ada keterangan tertulis dari pendiri masjid.
Kini, mushola di dalam masjid digunakan untuk aktifitas pesantren, seperti Tawasul, Dzikir hingga pengajian rutin.
Masjid seribu pintu diyakini sebagai salah satu tempat penyebaran Islam oleh pendirinya. Konon, penyebaran dilakukan dengan cara pembagian sembako untuk fakir miskin dan anak yatim piatu, “Sejarah di dalam masjid ini karena mempunyai pintu sebanyak seribu, selain itu cara penyebaran Islamnya dari beberapa generasi dengan cara pembagian sembako rutin setiap Jum’at,” ujar Supandi.
Menurutnya, masjid seribu ini menjadi salah satu tempat paling menarik bagi wisatawan. Tak hanya local tapi wisatawan asing. Seperti wisatawan dari negeri jiran (Malaysia), Brunai Darusalam, Tokyo hingga Singapura. Umumnya, mereka ingin mengetahui tasbih yang berukuran besar yang tertulis ayat-ayat Al Qur’an. “Mereka sangat kagum dengan tasbih itu,” katanya. Hanya saja, belum diketahui siapa pembuat dan sejak kapan tasbih itu dibuat. “Semuanya masih misteri,” pungkasnya.
silakan bagi rekan-rekan yang ingin menapak tilas masjid bersejarah di tangerang mengunjungi masjid ini.

Masjid Langgar Tinggi di Pekojan



Bingung mengisi Ramadan dengan kegiatan bermanfaat? Mungkin mengunjungi masjid-masjid tua di Kampung Arab Pekojan, Jakarta Barat, bisa menjadi pilihan. Setidaknya ini yang ditawarkan Komunitas Historia Indonesia (KHI) dengan menelusuri jejak Islam masa lampau di Kampung Arab Pekojan, Sabtu (12/9).
Perjalanan dimulai dari Gedung Nederlandsche Handel Maatschappij (NHM) atau yang kini dikenal dengan Museum Bank Mandiri. Kemudian dilanjutkan berkunjung ke Masjid Al-Anshor, Masjid Ar-Raudhoh, Masjid Zawiyah, Masjid An-Nawier, dan Langgar Tinggi.

Masjid-masjid ini memiliki keistimewaan tersendiri. Masjid Al-Anshor, misalnya, merupakan masjid tertua di Jakarta. Didirikan pada 1648, masjid ini terletak di tengah-tengah permukiman warga. Sedangkan Masjid Ar-Raudhoh memiliki mata air yang tak pernah kering, meski di musim kemarau. Bahkan kedalaman mata air di masjid yang berdiri sejak awal abad 20 ini pun tidak pernah diketahui hingga sekarang.
Masjid An-Nawier menerapkan konsep rukun Islam yang bisa dilihat dari jumlah pintu. Sisi kanan dan kiri masing-masing dilengkapi lima pintu, sesuai dengan rukun Islam. Sedangkan Langgar Tinggi memiliki keunikan pada lokasi yang menyatu dengan Kali Angke. Dahulu, para pedagang dan tukang perahu dapat langsung menyandarkan perahunya untuk mengambil air wudu. Masjid yang dibangun pada 1829 ini menyediakan pintu khusus. Sayangnya, pemandangan Kali Angke di samping masjid ini tak lagi indah karena sampah.
Ketua KHI, Asep Kambali, menyatakan acara ini bertujuan untuk memperkenalkan budaya Islam kepada masyarakat secara luas terutama generasi muda. "Berimplikasi secara bola salju, multiply effect, dari mulut ke mulut. Mudah-mudahan ini jadi terus berlanjut," ucap Asep.
Ramah lingkungan menjadi bagian dari tur ini. Peserta menggunakan sepeda ontel untuk mencapai sejumlah lokasi yang totalnya mencapai sekitar empat kilometer, bukan kendaraan bermotor. Sepeda ontel memudahkan pengunjung mengingat masjid-masjid tersebut terletak di lokasi terpencil dan harus melalui gang-gang kecil. "Seru, banyak informasi yang selama ini tidak tahu dan mengenal masjid bersejarah di Jakarta. Pakai sepeda pula," ucap Nina Anindya, salah seorang peserta.

Jumat, 25 Juni 2010

Mengunjungi Masjid Agung Cirebon




Yap.....!
Inilah kota Cirebon, silakan mampir kalo pas mudik yang lewat jalur pantura. Ada beberapa masjid bersejarah di kota Cirebon, salah satunya adalah masjid Agung Sang Cipta Rasa. Yang tepat berada di depan Keraton Kesepuhan Cirebon.

Kota
Cirebon sudah sejak lama dikenal sebagai Kota Wali. Sebutan itu tidak bisa dilepaskan, karena Cirebon dirintis oleh salah seorang dari Wali Songo yaitu Sunan Gunung Jati.

Untuk memudahkan penyebaran agama Islam, para wali mendirikan masjid bagi masyarakat Cirebon. Masjid ini diberi nama Masjid Agung Sang Cipta Rasa, didirikan pada tahun 1498 M. ‘Sang’ artinya keagungan, ‘cipta’ artinya yang dibangun dan ‘rasa’ artinya digunakan.

Secara arsitektur, masjid ini bercorak seperti candi Hindu. Hal ini dilakukan untuk menyesuaikan dengan lingkungan sekitar di mana agama dan budaya Hindu masih kental di Cirebon saat abad 15 itu.

Bagian pondasi bangunan terdiri dari batu bata merah yang disusun rapi dengan tiang penopang dari kayu jati.

Secara umum, masjid ini terdiri dari 2 bagian ruangan salat, luar dan dalam atau ruangan utama. Bagian luar berbentuk seperti teras keraton/kesultanan. Bangunan ini tidak terasa aneh, karena Cirebon memiliki dua kesultanan yaitu Kanoman dan Kasepuhan.

Di bagian luar masjid nampak berdiri tiang-tiang penyangga dari kayu jati berwarna coklat kehitaman. Bahkan satu tiang kayu jati yang ditanam oleh Sunan Kalijaga masih kokoh berdiri sampai sekarang.

Sedangkan untuk bagian dalam/utama, bangunan ini berbentuk kubus menyerupai Ka’bah Mekkah. Kubus ini memiliki 9 pintu masuk yang ukurannya berbeda-beda. 1 Pintu utama di bagian timur, 4 pintu kecil dan 4 pintu berukuran sedang di bagian samping.

Tinggi dan lebar pintu samping tidak lebih berukuran 150 x 25 cm. Sehingga siapapun yang hendak masuk ke dalam harus membungkukan badan.

Maknanya, kalau masuk rumah Allah tak ada yang boleh sombong dengan menegakkan badan. Sementara itu, pintu utama masjid berupa pintu kayu dengan bagian kusen berhias ukiran dengan bentukan tiang di sisi kiri dan kanan pintu berhias ornamen kaligrafi. Pintu utama tempat salat ini hampir tidak pernah dibuka, kecuali pada saat Sholat Id atau pada waktu perayaan Maulid Nabi Muhammad.

Jika masuk ke dalam masjid, kita akan melihat tempat salat khusus bagi Sultan Kanoman dan Kasepuhan. Tempat itu berbentuk persegi berukuran 2,5 x 2,5 meter dikelilingi kayu, mirip sebuah kandang.

Konon, tempat tersebut dibuat karena saat Sultan salat selalu dikerubungi rakyat Cirebon. “Untuk khusyu (salatnya), kedua Sultan diberi pembatas ini,” jelasnya sambil menunjuk tempat privat kedua Sultan.

Untuk dinding bagian depan, berupa bata putih dengan hiasan ukiran kaligrafi berjumlah 9 di sebelah kiri dan 9 di sebelah kanan, melambangkan 9 wali penyebar agama Islam di Jawa.

Sementara, pada bagian luar masjid ini dikelilingi pagar berbentuk candi khas hindu. Pagar tersebut terbuat dari susunan batu bata merah. Di sebelah utara masjid, terdapat 2 buah bak air mirip gentong besar yang sering digunakan Sultan sebagai tempat wudhu.

Setiap harinya, masjid ini sering menjadi tempat wisata rohani yang wajib dikunjungi para wisatawan selain Sunan Makam Gunung Jati. Kalangan yang datang mulai dari turis domestik hingga luar negeri.

Masjid ini terletak di komplek alun-alun Keraton Kasepuhan Cirebon. Dari Terminal Cirebon hanya membutuhkan waktu 15-20 menit untuk sampai.

Aktivitas di masjid ini ramai oleh peziarah ketika malam Jumat Kliwon atau Selasa Kliwon. Biasanya orang datang untuk berzikir dan tirakatan malam. Beberapa orang percaya akan mendapatkan keberkahan jika melaksanakan ibadah di masjid wali ini.

Perjalanan Ke Masjid Merah Panjunan






Mumpung masih ada di area Cirebon, sekalian jalan-jalan mengunjungi majid Merah Panjunan.dengan mengendarai sepeda tua BATAVUS,untuk area di dalam masjid yang masih asli ditutup untuk umum.Area yang masih asli ada di balik pintu yang ada di foto.Nah di situ para wali pernah sholat pada jaman dahulu kala. Dan di buka menjelang sholat Idul Fitri. Jadi kepingin Sholat ied di sini nh.....
Nh ada sedikit sejarahnya.....
Masjid Merah Panjunan didirikan oleh salah satu putra Sultan Bagdad, yaitu Syarif Abdurrahman. Masjid yang didirikan pada tahun 1480 M ini, pada awalnya bernama al-Athyah yang berarti yang dikasihi. Pendirian Masjid Merah Panjunan lebih disebabkan oleh karena belum adanya Masjid Agung di wilayah Caruban selain sebuah tajug sederhana, yaitu Masjid Pejlagrahan yang sampai saat ini juga masih ada.

Selain itu, dapat dilihat juga adanya beberapa alasan lain yang melatarbelakangi pendirian Masjid Merah Panjunan. Fungsi politis juga ikut mewarnai pembangunan Masjid Merah Panjunan selain fungsi praktis tersebut di atas. Fungsi ekonomis dari pembangunan Masjid Merah Panjunan dapat dilihat dari keberadaannya di wilayah yang merupakan sentra produksi dan pemasaran gerabah, karena pada saat itu masjid merupakan tempat khalayak ramai berkumpul. Bahkan fungsi ini kemudian juga mempengaruhi nama wilayah sekaligus nama masjid ini yaitu Panjunan.

Wilayah Panjunan dan sekitarnya menjadi sentra perdagangan dalam wilayah Cirebon, kota perdagangan pantai yang sangat ramai saat itu, sehingga penduduknya berasal dari berbagai macam suku bangsa. Berangkat dari asumsi bahwa masjid sebagai bangunan publik sehingga menjadi cerminan kebudayaan publik yang memilikinya dan realitas dari wujud fisik bangunan Masjid Merah Panjunan memperlihatkan adanya perpaduan budaya dan agama masyarakatnya dalam wujud akulturasi.

Proses akulturasi di Indonesia sudah terjadi semenjak masa pra-Islam, yaitu Budha dan Hindu. Agama Hindu datang ke Indonesia dibawa oleh bangsa India. Setelah kedatangan agama Hindu dan Budha ke Indonesia, datanglah agama Islam. Agama-agama tersebut kemudian bertemu dan mengadakan kontak secara terus-menerus. Akhirnya terjadilah akulturasi antara kedua agama tersebut.

Wujud akulturasi tersebut dapat dilihat dari adanya unsur-unsur budaya yang ada pada arsitektur Masjid Merah Panjunan. Jika menggunakan agama dan asal sebagai agen pengaruh budaya maka unsur-unsur akulturasi tersebut adalah sebagai berikut.

1. Unsur budaya Islam; Selain jelas dari wujud fisik dan fungsi praktis dari masjid ini yaitu sebagai bangunan peribadatan umat Islam, maka dapat dilihat lebih terperinci juga unsur-unsur khas yang berasal dari pengaruh Islam. Unsur budaya Islam dapat kita lihat pada mimbar, mihrab, tempat wudlu, dan beberapa ragam hias kaligrafi yang terlihat di tiang dan blandar.
2. Unsur budaya Jawa; Unsur budaya Jawa masih sangat terlihat dalam arsitektur Masjid Merah Panjunan ini yaitu dari jenis bangunannya yang jelas menggunakan arsitektur Jawa yaitu tajug dan limasan. Selain itu juga dapat dilihat dari pola konstruksi dan susunan arsitekturalnya.
3. Unsur budaya Cina; Pengaruh dari Cina juga ditemukan pada Masjid Merah Panjunan ini yang dapat dilihat dari penggunaan beberapa keramik produksi Cina untuk hiasan tempel, dan penggunaan bahan sirap seperti pada bangunan khas Cina.
4. Unsur budaya Hindu; Unsur budaya Hindu secara eksplisit tidak banyak dapat dilihat secara langsung pada wujud fisik bangunannya, tetapi jika dikaitkan dengan makna-makna filosofis dan simbol-simbol yang ada pada Masjid Merah Panjunan, masih dapat ditemukan adanya kelanjutan-kelanjutan pemakaian makna filosofis Hindu yang kemudian disesuaikan dengan ajaran Islam.
5. Unsur budaya Eropa; Unsur budaya Eropa dalam arsitektur Masjid Merah Panjunan dapat kita lihat dengan jelas pada keramik-keramik produksi Eropa, khususnya Belanda. Unsur-unsur tersebut diatas, semuanya disusun dan diterapkan sedemikian rupa sesuai dengan selera estetika pada jamannya. Selera jaman yang saat itu juga sudah dipengaruhi oleh aktivitas perdagangan orang-orang Eropa kemudian juga mempengaruhi estetika akulturatif di atas.